Penguasaan bahasa Inggris, pada sebuah generasi orang Indonesia, sempat
ditanamkan sebagai sebuah keharusan. Alasannya? Memenangi persaingan
pekerjaan di era global. Namun, saat globalisasi yang digembar-gemborkan
itu akhirnya datang, kita melihat bahwa penguasaan bahasa Inggris
bukanlah hal yang penting.
Setidaknya, globalisasi menunjukkan,
pusat-pusat ekonomi baru di dunia justru berada di tempat yang tak
mengandalkan bahasa Inggris sebagai salah satu kekuatannya. Contohnya
Cina, Brasil, dan Korea Selatan. Mereka beberapa contoh negara kekuatan
ekonomi baru yang tak pusing soal penguasaan bahasa Inggris.
Lalu
kenapa, sampai sekarang kita masih tak bisa terlepas dari mementingkan
penguasaan bahasa Inggris, bahkan sampai pada anak-anak usia dini?
Mungkin
ini fenomena yang hanya ada di Jakarta (dan belum menyebar ke kota-kota
lain di Indonesia). Namun sangat sering saya bertemu dengan anak-anak
yang bahkan belum cukup umur untuk masuk TK tapi sudah berbicara dengan
lancar dalam bahasa Inggris. Orangtuanya pun berkomunikasi dengan si
anak sepenuhnya dalam bahasa Inggris.
Dalam menentukan TK untuk
anak mereka, keberadaan mata pelajaran bahasa Inggris dalam kurikulum
pun bisa menjadi alasan bagi orangtua.
Secara informal, ada
penggunaan istilah-istilah bahasa Inggris yang tak perlu dan makin
meluas di sekitar kita. Dari tingkat pelayan restoran sampai ke pidato
presiden.
Saat memesan makanan di mal-mal di Jakarta, jangan harap Anda menemukan es teh di menu. Semua sudah terganti dengan ice tea meski secara makna dan wujud, keduanya sama persis. Ketika selesai makan dan siap membayar, bukan bon (meski serapan, namun ini sudah resmi masuk KBBI) yang ditawarkan pelayan pada Anda, melainkan bill.
Belum lagi saat Anda berada di mal tersebut dan melihat iklan midnight sale atau parkir di area ladies parking.
Seiring
makin banyaknya mal di Jakarta, maka penggunaan ekspresi bahasa Inggris
pun semakin meluas. Setiap mal ingin memunculkan kesan eksklusif —
sebuah dunia mimpi yang asing sekaligus menarik. Maka bahasa Inggris pun
digunakan sebagai alat agar ilusi akan dunia asing tersebut tetap
terjaga.
Kata-kata seperti "fabulous", "food", "sensation", "experience", atau "travel" mudah ditemukan bertebaran.
Tak
cukup di mal, saat Anda mendengar radio di Jakarta, maka
bersiap-siaplah mendengar penyiarnya bolak-balik mengatakan "which is"
sebagai pengganti “yaitu” (meski penggunaannya tidak selalu tepat) dan
mereka berulang kali mengucapkan "worthed" padahal seharusnya "worth it"
(hmm, bahasa Inggris pun tidak becus).
Maka Jakarta pun jadi
kota yang keminggris. Namun tak ada indikasi jelas, apakah kesukaan
orang Jakarta berbahasa Inggris punya implikasi langsung terhadap
tingkat kesejahteraan ekonomi penduduknya.
Dalam pidato
kenegaraan pun, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono termasuk yang getol
memasukkan kata-kata atau ungkapan bahasa Inggris, tak peduli kata-kata
tersebut sudah ada padanan langsungnya dalam bahasa Indonesia.
Dalam pidatonya saat menengahi hubungan KPK dan Polri
dalam penanganan kasus korupsi pengadaan alat simulator uji SIM, ada
tiga kali SBY menyebut "equality before the law" meski sebelum dan
sesudahnya, SBY menjelaskan artinya. Ini kutipan langsungnya:
"Sebenarnya,
jika kita merujuk pada Konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945, di situ
dikatakan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum. Inilah yang disebut dengan prinsip equality before the law,"
SBY pun kemudian mengulangi lagi, "Bersamaan kedudukannya dalam hukum, equality before the law."
"Sama
di hadapan hukum" bukanlah konsep yang hanya bisa dijelaskan dalam
bahasa Inggris. Kita sudah punya padanannya (secara istilah maupun
prinsip) dalam bahasa Indonesia. Lalu kenapa SBY merasa perlu
menggunakan istilah bahasa Inggris tersebut?
Bukan hanya itu, SBY
menyebut “tour of duty” dan “tour of area” dalam pidato, yang kemudian
ia artikan lagi sebagai “alih tugas” atau “alih wilayah penugasan”.
Lebih jelas dalam bahasa Indonesia bukan?
Dalam pidato Hari Kemerdekaan yang disampaikan pada 16 Agustus 2012,
SBY mengucapkan lebih banyak istilah dalam bahasa Inggris yang punya
implikasi langsung terhadap kesejahteraan penduduk Indonesia.
“Near
poor” buat hampir miskin. Lalu ada “financial inclusion”, “sustainable
growth with equity”, “sustainable development goals”, “income
generating”. Selanjutnya, ada istilah-istilah yang SBY sebut sebagai
empat pilar utama program pro-rakyat yang ia canangkan: “pro-growth,
pro-job, pro-poor, dan pro-environment.”
Presiden memang
memberikan penjelasan untuk “near poor” dan “income generating”, namun
jika pilar-pilar utama program kesejahteraan ekonomi yang ia canangkan
berasal dari bahasa asing (yang sebenarnya ada padanannya dalam bahasa
Indonesia), mungkin kita bisa mempertanyakan, dari mana sebenarnya asal
rencana pembangunan yang ia tetapkan?
Jangan-jangan hanya adopsi
dari strategi ekonomi asing, yang langsung mentah-mentah diadopsi untuk
Indonesia, sehingga tak sempat diterjemahkan atau dilokalkan terlebih
dahulu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar